Kembali lagi ke Jakarta. Kembali lagi ke mayoritas muslim secara general menjadi lebih mudah dalam menjalankan ibadah puasa. Apalagi setelah hampir tiga bulan kembali dari San Francisco, belum mendapat pekerjaan tetap, jadi lebih banyak dirumah dengan minim aktivitas. Tidak perlu pusing-pusing mikir menu berbuka dan sahur, karena semua sudah tersedia. Bisa sholat tarawih dan ngaji lebih banyak dari tahun kemarin.
Tapi ada hal-hal istimewa yang kurang: Eksklusifitas muslim di negeri non muslim. Perasaan besar dan bangga menjadi muslim. Saat orang-orang terpukau dengan "how can you don't eat anything?" "I can't do that" atau rasa penghormatan yang sebenarnya ketika kami berkumpul di restoran untuk makan siang dan "Mahdy, order anything for you to eat it during the night." atau ketika menjalankan aktivitas volunteer ketika "Who's fasting? You? Here have more, take as much as you want."
Ada rasa kemenangan yang sebenarnya ketika Maghrib tiba pukul 8:30 sore dan badan masih bisa berdiri tegak walau hanya dengan beberapa teguk air putih (no tea) di tengah aktivitas yang tidak dibuat untuk orang yang berpuasa, tapi tidak ada masalah.
Ada ketenangan ketika langit malam takbir tidak diramaikan oleh kembang api dan petasan, tapi bintang dan awan malam. Tanpa takbir berkumandang dari luar yang sering dijadikan perwakilan untuk tidak perlu lagi bertakbir. Tapi disana takbir langsung berkumandang dari mulut, dan langit yang kemudian diwakilkan.
Tapi tetap ada amalan-amalan di bulan puasa yang tidak bisa dipenuhi semua.
Kemudian sekarang hanya ada doa, semoga bisa diberi kesempatan lagi untuk bertakbir mewakili langit dibelahan dunia lain. Mewakili minoritas karena itu hebat.