Jura adalah seorang perempuan cantik yang sangat mandiri. Hidupnya penuh dengan tantangan. Dia mengetahui banyak hal, dan telah melakukan banyak hal. Sejak sekolah tingkat akhir, dia sudah harus hidup jauh dari keluarga, dan mencari tambahan uang sendiri untuk menyambung hidupnya.
Beberapa kali Jura berpikir untuk mengakhiri hidupnya karena besarnya cobaan yang diterimanya. Namun dalam setiap kehidupannya, selalu ada orang-orang yang datang menjadi alasan Jura untuk terus berjuang - yang menjadi obat penyembuhnya. Namun dia tetap bertanya-tanya, kenapa orang-orang itu selalu pergi disaat dia telah berhasil mengatasi satu masalah? Orang-orang itu seperti datang sebagai kiriman Tuhan untuk memberitahukan bahwa hidupnya masih panjang.
Karena selalu merasa ditinggalkan oleh orang-orang yang dulu datang untuk menguatkannya, Jura justru berpikir orang-orang itulah yang merupakan cobaan hidup Jura yang sesungguhnya - bukan masalah yang dia hadapi. Sejak saat itu, Jura bersumpah tidak akan berhubungan dengan orang-orang. Karena sakit hati akibat ditinggal orang-orang tercinta lebih menyakitkan dari semua masalahnya.
Jura berkelana, mencoba mendekatkan diri kepada Tuhannya. Ibadah menjadi prioritasnya. Namun kelam dunianya yang dulu masih sering berkunjung kedalam kepala dan hatinya.
Jura terus beribadah dan berdoa agar suatu saat nanti dikirimkan seorang laki-laki yang dapat menjadi pusat kehidupannya. Bukan cuma penolong dari masalahnya lalu menghilang, tapi seseorang yang bisa menjadi bagian dari masalah itu sendiri, namun juga menjadi jalan keluar di saat bersamaan. Laki-laki yang menjadi Yin dan Yang dari hidupnya. Tapi Jura hanya menunggu, hingga dia sakit tak sadarkan diri.
Dalam keadaaan sadar tak sadar, Jura dihampiri seseorang dan menggenggam tangannya. Jura dibawa jalan ke suatu tempat. Kemudian orang tersebut melepas tangan Jura. "Silakan masuk, kamu mendapat undian dari Tuhan." Kata orang tersebut.
Jura kemudian berjalan di sebuah padang rumput. Disana dia melihat seorang laki-laki yang sedang menggembalakan kambing, bebek, domba, dan sapi. Begitu banyaknya gembalaan laki-laki tersebut, tanpa ada satupun yang luput dari pengawasannya. Tak lama kemudian, seekor kambing melahirkan disana. Laki-laki itu kemudian mengambil anak kambing tersebut dan mematahkan lehernya. Jura terkejut melihat kejadian tersebut. Dia ingin sekali meneriaki laki-laki tersebut, tapi kaki dan mulutnya seperti kaku - tidak bisa digerakkan sama sekali.
Kemudian laki-laki tersebut melanjutkan gembalanya menuju padang rumput lain. Di tengah perjalanan, seekor sapi melahirkan. Laki-laki tersebut terlihat senang. Dia segera menghampiri anak sapi tersebut, mengeluarkan belati dari sarung di celananya, dan menyembelih anak sapi tersebut. Jura tak kuasa menahan tangisnya. Kemudian dia melihat laki-laki tersebut menyambut kambing, bebek dan hewan ternaknya yang lain yang telah melahirkan, lalu membunuh anak-anaknya satu persatu.
Jura kemudian secara tiba-tiba dapat menghampiri laki-laki tersebut. Dia bertanya kenapa laki-laki tersebut membunuh semua bayi dari ternak-ternaknya. Laki-laki itu menjawab dengan panik dan lemah, "aku tidak tahu. Aku sangat ingin ternakku beranak pinak. Tapi aku membunuh semua bayi dari ternak-ternakku." Laki-laki itu terlihat sangat lelah. Dia kemudian tertidur di bawah pohon, membuat ternak-ternaknya perlahan hilang dari pengawasannya.
Lalu semuanya menjadi sepi
Hanya suara yang dibawa angin yang aku dengar.
Suara itu semakin jelas terdengar.
Dia memanggilku dengan lembut namun mengintimidasi.
Inikah suara Tuhanku?
"Lihatlah Penggembala itu.
Betapa banyak ternaknya.
Tapi sekarang semuanya hilang, dan dia tidak mengetahuinya karena lelah tidurnya.
Dia ingin menambah ternaknya, namun yang dilakukan malah membunuh mereka.
Ternak itu ibarat amalan yang sudah dikumpulkan.
Yang dijaga dengan semua usaha.
Dan penggembala itu berniat untuk menambahkan amalannya.
Namun dia melakukan hal yang sia-sia.
Mengawinkan ternaknya hingga beranak. Betapa besar usaha yang telah dilakukannya.
Namun dia sendiri yang membunuh amalannya yang akan menjadi besar.
Hingga hilang semua amalannya.
Perhatikanlah dan ambil pelajarannya."
Jura merasa sangat sedih dan mulai menangis. Kemudian angin besar berhembus dan membangunkannya dari tidur. Saat itu Jura ingat semua dosa yang telah dilakukannya. Air mata mewakili banyaknya keburukan yang dilakukan untuk sekedar mengobati sedikit rasa takut, rindu, rasa haus kasih sayang, atau rasa kenyamanan. Kenapa rasa yang tidak akan ada habisnya, harus dipuaskan dengan sesuatu yang tidak dibenarkan? Yang kemudian hanya akan memuaskan sementara. Apakah jika kita mencari obat yang paten - yang datangnya dari kebaikan, atau dari ajaran Tuhan - bisa selamanya mengobati rasa-rasa tersebut?
Jura tidak mengerti. Dia belum mengetahui jawabannya. Tapi semua hal buruk yang pernah dilakukannya tidak bisa hilang dari ingatan. Apakah Jura termaafkan?
"Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf. Dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf. Karenanya maafkanlah aku."
Kemudian Jura berdoa lagi, semoga datang orang yang bisa memberikan, atau setidaknya mengajarkannya untuk mendapatkan obat paten dari Tuhan untuk tidak sekedar mengobati sementara.
Jura adalah kita. Pelajaran yang bisa diambil adalah dari si penggembala. Apakah kita sia-sia mengerjakan amalan kita? Apakah sia-sia puasa kita tahun ini? Amalan yang sudah kita kumpulkan harus hilang karena kita hanya mengambil obat yang menyembuhkan penyakit dengan sementara. Kita kecanduan dengan obat sementara ini. Ketika kita dimusuhi, kita balik memusuhi. Karena itu obat sementara yang membuat kita merasa baik untuk sementara. Sementara penyakit permusuhan itu tidak benar-benar sembuh.
Apakah penyakit nafsu birahi kita puaskan dengan sesuatu yang besifat sementara juga?
Tak pernahkah kita bayangkan - saat kita melakukan pemuasan sementara ini - perasaan orang yang akan diutus untuk menjadi penyembuh yang sebenarnya. Yang membawa obat cinta dan berusaha mencintai dengan ikhlas, mengetahui diri kita dahulu adalah pemuas obat sementara? Setiap hari dia harus hidup dengan pikiran ini, menerima kenyataan ini tanpa sedikitpun berkurang rasa cintanya. Betapa dia begitu sedih dalam keikhlasannya.
"Setiap mendengar kumandang takbir di malam Ramadan terakhir tahun ini, aku merasa malu.
Aku ingin berlari dan bersembunyi dari Tuhanku.
Aku malu berpuasa selama sebulan ini.
Ini perasaanku yang sesungguhnya.
Allah ampunilah dosa-dosaku."