Samudra tak henti-hentinya melantunkan takbir di malam itu. Malam takbiran. Dia duduk bersila di kamarnya. Sambil merokok dia mencubit-cubit kulitnya, meyakinkan bahwa dirinya masih hidup. Melihat detil-detil bulu-bulu halus di tangan. Meresapi takbirnya dengan tafakur diri. "Besok aku akan meminta maaf kepada ibuku. Tapi apakah dia akan berubah?" Samudra merasa meminta maaf, dan memaafkan ibunya adalah percuma. Toh besok ibu Samudra pasti akan menyakiti hatinya lagi. Juga hati ayahanda. Tak usah menuggu sampai tiga hari atau bahkan seminggu.
"Besok aku akan meminta maaf kepada Bunga.Tapi apakah dia mau memaafkanku?" Samudra merasa menghianati cinta suci Bunga. Dia kepergok sedang bercinta dengan Siti saat Bunga membawakan kue ulang tahun untuknya di ulang tahunnya yang ke 24. Bunga tidak melemparkan kue itu ke muka Samudra. Tidak juga membantingnya. Dia menaruhnya di depan pintu kamar, didepan Samudra dan Siti yang sedang telanjang dan kaget bukan kepalang, sehingga tidak bisa bergerak. Bunga tersenyum dan mengucapkan "Selamat ulang tahun sayang." Bunga tak pernah menangis setelah itu. Tidak juga terlihat marah. Apalagi bersama pria lain.
"Sepertinya semua tidak akan berubah hanya karena aku meminta maaf, atau memaafkan."
Jam sudah menunjukkan pukul dua. Tapi matanya belum juga kalah dengan kelelahan yang
dialami Samudra. Gema takbir masih terdengar bersahutan-pelan di langit. Sebatang lagi rokok dihisapnya. Samudra memutuskan untuk berjalan-jalan keluar sebentar. Sepoi angin malam mengibaskan bulu-bulu halus di tangannya. Jutaan sensor membuatnya dapat merasakan dinginnya udara. Dan pupil yang membesar melihat lontaran-lontaran kembang api di langit - merayakan idul fitri sebentar lagi. Hati Samudra ingin berada jauh diluar negri. Melihat keberagaman manusia ciptaan illahi. Menguji keimanan, dan kemandirian sebagai minoritas.
"Mudah-mudahan sebentar lagi." Samudra tak pernah berhenti berharap. Bahkan akhir-akhir ini, lebih besar cita-citanya. Setelah merasa pikirannya lebih segar, Samudra kembali kerumahnya.
Pagi ini, mentari terlihat lebih cerah. Mungkin karena orang-orang dibawahnya, yang mengenakan baju koko putih, peci putih, dan kain yang semunya terlihat baru. Warna putih kan memantulkan cahaya. Itulah mengapa semua terlihat lebih terang, sepanjang jalan Samudra menuju masjid untuk sholat Ied. Tapi pagi ini memang terang benderang. Mungkin karena lantunan salam dan selamat dari semua orang, membuat hati mereka ceria, dan terpancar ke wajah mereka - menjadi terang. Begitu juga wajah ibu Samudra, saat melihat anaknya datang dari jauh, untuk meminta maaf. Anak memang harus meminta maaf kan. Itulah yang membuat Samudra, segera mencium tangan ibunya. Namun sekarang, memeluk ibunya terasa lebih kaku, dibanding saat Samudra kecil. Saat semuanya masih baik-baik saja. Saat dirinya tak harus memikirkan masa depan keluarga, dan dirinya.
"Bu, Minal Aidin Wal Faidzin ya.. Samudra minta maaf."
"Iya sama-sama. Ibu mu juga minta maaf."
"Ba, Minal Aidin Wal Faidzin ya.. Samudra minta maaf."
"Iya, sama-sama. Aba juga minta maaf."
Samudra merasa seperti menjalankan protokol. Kaku. Tapi itulah yang seharusnya dilakukan. Tapi dalam hati, Samudra merasa lebih lega, telah meminta maaf kepada kedua orang tuanya. Diluar masalah apakah Samudra ikhlas melakukannya, begitu juga orang tuanya, kata maaf memang ajaib. Terlebih memaafkan. Itulah yang coba dilakukan Samudra, saat melihat keriput di pipi ibunya yang semakn jelas.
"Manusia tak akan luput dari segala salah. Memang sia-sia jika setelah meminta maaf,
dan memaafkan, kesalahan terulang lagi. Tapi itulah hidup. Aku memang tidak cukup bijak
untuk mengerti seutuhnya, tapi aku melakukannya."
Samudra menelpon Bunga dalam perjalanan pulang dari rumah orang tuanya, tapi tidak ada yang menjawab. Dia memang mengetahui kesalahannya sangat sulit untuk dimaafkan. Tapi Samudra tidak menyalahkan Bunga. Dia hanya merindukan wanita yang dikaguminya. Dan yang mengaguminya. Dan dia ingin kekasihnya tahu, dia sangat ingin meminta maaf.
Langkahnya terhenti tiba-tiba. Bunga berada di teras rumahnya. Berpakaian putih-putih seperti orang-orang yang memantulkan cahaya tadi pagi. Tapi Bunga tak perlu memakai putih-putih untuk bercahaya. Karena senyumnya dapat mengalahkan cerahnya mentari.
Samudra seketika berlari, dan memeluk Bunga. Dia menangis di punggung wanita yang tercipta untuknya. Bunga tidak juga menangis. Dia tersenyum