Wednesday, 29 September 2010

Tugas Mengarang Nanda

Hey aku Nanda, umurku 9 tahun. Saat ini bersekolah kelas 4 Sd

Walaupun sekolahku sering bocor saat hujan, tapi aku tetap senang bisa bersekolah disana

karena disana aku menemukan temanku. Dia hebat sekali

Walaupun masih seumuran denganku, dia termasuk anak yang ajaib.

Dia bisa berubah bentuk apa saja

sebut saja maumu

Anjing

Vampir

Penggaris kayu ibu guru

Tempat sampah depan kelas 6a

Monyet

Buku yang sangat tebal

Kaca mata

Jempol kaki yang bau

Asap tebal

Jalan rusak

Jeruji karat

Yahudi

Apa saja,kecuali Super Hero

Tapi dia tidak bisa menjadi batman,atau superman,atau spiderman

dia tidak bisa menjadi Sailor moon, Power ranger, Saint Saiya,Songoku

dia tidak bisa jadi gatot kaca, Gundala, atau Saras 008

dia bisa menghukum bahkan membunuh orang-orang jahat,bahkan sampai ke kejahatan yang sangat kecil

pencuri singkong, maling ayam, maling jemuran, maling sendal

tapi dia tidak bisa menghukum,apalagi membunuh

Jendral bintang tujuh yang menabrak seorang nenek hingga tulang-tulangnya patah

Polisi yang menembak mahasiswa yang menyuarakan aspirasi

Pembunuh bayaran seorang pejuang HAM

Pejabat yang mengambil uang rakyat

Tapi bagaimanapun juga dia temanku.

Ya daripada ndak bisa menghukum siapapun, ya ndak apa-apa lah (logat jawa)

Lagian kan, dia masih 9 tahun..

apa yang bisa diharapkan

Kita masih anak-anak.

Kata ibuku, anak kecil belum tahu mana yang benar dan salah

Thursday, 16 September 2010

HAMLET

I was reading Hamlet.
A drama written by shakespeare
It tells a story about prince Hamlet
I suddenly felt asleep at first phase, scene five
And hamlet I'm dreaming
The book straight into my head
The beauty of Shakespeare's words
And I spoke like prince hamlet in my dream
I spoke the beauty of words
Until I choked up
And when I wake
I'm wondering how words can affect a man for so deep

Senyum Samudra

Samudra tak henti-hentinya melantunkan takbir di malam itu. Malam takbiran. Dia duduk bersila di kamarnya. Sambil merokok dia mencubit-cubit kulitnya, meyakinkan bahwa dirinya masih hidup. Melihat detil-detil bulu-bulu halus di tangan. Meresapi takbirnya dengan tafakur diri. "Besok aku akan meminta maaf kepada ibuku. Tapi apakah dia akan berubah?" Samudra merasa meminta maaf, dan memaafkan ibunya adalah percuma. Toh besok ibu Samudra pasti akan menyakiti hatinya lagi. Juga hati ayahanda. Tak usah menuggu sampai tiga hari atau bahkan seminggu.

"Besok aku akan meminta maaf kepada Bunga.Tapi apakah dia mau memaafkanku?" Samudra merasa menghianati cinta suci Bunga. Dia kepergok sedang bercinta dengan Siti saat Bunga membawakan kue ulang tahun untuknya di ulang tahunnya yang ke 24. Bunga tidak melemparkan kue itu ke muka Samudra. Tidak juga membantingnya. Dia menaruhnya di depan pintu kamar, didepan Samudra dan Siti yang sedang telanjang dan kaget bukan kepalang, sehingga tidak bisa bergerak. Bunga tersenyum dan mengucapkan "Selamat ulang tahun sayang." Bunga tak pernah menangis setelah itu. Tidak juga terlihat marah. Apalagi bersama pria lain.
"Sepertinya semua tidak akan berubah hanya karena aku meminta maaf, atau memaafkan."

Jam sudah menunjukkan pukul dua. Tapi matanya belum juga kalah dengan kelelahan yang
dialami Samudra. Gema takbir masih terdengar bersahutan-pelan di langit. Sebatang lagi rokok dihisapnya. Samudra memutuskan untuk berjalan-jalan keluar sebentar. Sepoi angin malam mengibaskan bulu-bulu halus di tangannya. Jutaan sensor membuatnya dapat merasakan dinginnya udara. Dan pupil yang membesar melihat lontaran-lontaran kembang api di langit - merayakan idul fitri sebentar lagi. Hati Samudra ingin berada jauh diluar negri. Melihat keberagaman manusia ciptaan illahi. Menguji keimanan, dan kemandirian sebagai minoritas.
"Mudah-mudahan sebentar lagi." Samudra tak pernah berhenti berharap. Bahkan akhir-akhir ini, lebih besar cita-citanya. Setelah merasa pikirannya lebih segar, Samudra kembali kerumahnya.

Pagi ini, mentari terlihat lebih cerah. Mungkin karena orang-orang dibawahnya, yang mengenakan baju koko putih, peci putih, dan kain yang semunya terlihat baru. Warna putih kan memantulkan cahaya. Itulah mengapa semua terlihat lebih terang, sepanjang jalan Samudra menuju masjid untuk sholat Ied. Tapi pagi ini memang terang benderang. Mungkin karena lantunan salam dan selamat dari semua orang, membuat hati mereka ceria, dan terpancar ke wajah mereka - menjadi terang. Begitu juga wajah ibu Samudra, saat melihat anaknya datang dari jauh, untuk meminta maaf. Anak memang harus meminta maaf kan. Itulah yang membuat Samudra, segera mencium tangan ibunya. Namun sekarang, memeluk ibunya terasa lebih kaku, dibanding saat Samudra kecil. Saat semuanya masih baik-baik saja. Saat dirinya tak harus memikirkan masa depan keluarga, dan dirinya.
"Bu, Minal Aidin Wal Faidzin ya.. Samudra minta maaf."
"Iya sama-sama. Ibu mu juga minta maaf."
"Ba, Minal Aidin Wal Faidzin ya.. Samudra minta maaf."
"Iya, sama-sama. Aba juga minta maaf."
Samudra merasa seperti menjalankan protokol. Kaku. Tapi itulah yang seharusnya dilakukan. Tapi dalam hati, Samudra merasa lebih lega, telah meminta maaf kepada kedua orang tuanya. Diluar masalah apakah Samudra ikhlas melakukannya, begitu juga orang tuanya, kata maaf memang ajaib. Terlebih memaafkan. Itulah yang coba dilakukan Samudra, saat melihat keriput di pipi ibunya yang semakn jelas.
"Manusia tak akan luput dari segala salah. Memang sia-sia jika setelah meminta maaf,
dan memaafkan, kesalahan terulang lagi. Tapi itulah hidup. Aku memang tidak cukup bijak
untuk mengerti seutuhnya, tapi aku melakukannya."

Samudra menelpon Bunga dalam perjalanan pulang dari rumah orang tuanya, tapi tidak ada yang menjawab. Dia memang mengetahui kesalahannya sangat sulit untuk dimaafkan. Tapi Samudra tidak menyalahkan Bunga. Dia hanya merindukan wanita yang dikaguminya. Dan yang mengaguminya. Dan dia ingin kekasihnya tahu, dia sangat ingin meminta maaf.
Langkahnya terhenti tiba-tiba. Bunga berada di teras rumahnya. Berpakaian putih-putih seperti orang-orang yang memantulkan cahaya tadi pagi. Tapi Bunga tak perlu memakai putih-putih untuk bercahaya. Karena senyumnya dapat mengalahkan cerahnya mentari.
Samudra seketika berlari, dan memeluk Bunga. Dia menangis di punggung wanita yang tercipta untuknya. Bunga tidak juga menangis. Dia tersenyum

Tuesday, 7 September 2010

Dari 'kemelataan' menujulah ke kebahagiaan

Entah dari kapan ular itu mulai hidup di tempat ku tidur. Pada suatu malam kurasakan gerakan di belakang, saat aku tidur miring. Setelah ku tengok, tak ada apa-apa. Terulang lah beberapa kali, sebelum aku benar-benar pulas karena kelelahan. Dan bayanganku pun meredup dibawah purnama kulihat. Lama kelamaan aku terbiasa dengan perjalanannya di belakangku, saat ku tidur miring.

Dari rasa melata yang terasa di belakang, kini terdengar desis, dan terasa lidah yang menjulur-julur di kulit. Aku sudah terbiasa, jadi ular itu merasa bebas. Lalu aku membuka bajuku. Dia melata di lengan atas, turun ke dada, lalu ke perutku. Saat ku tidur miring. Aku menikmatinya, setelah lama haus rabaan dari sang suami yang telah mati. Lalu kutanggalkan celana tidur pendek sutraku. Dia menjalar turun ke sana. Napasku mulai berat. Desahan kecil mulai kuhembuskan sekali. Dua kali. Lalu berkali-kali. Aku sudah basah dan berkeringat. Aku sudah terlentang di tempatku tidur. Lalu ular itu pergi dan membuatku terlelap.

Kejadian itu berlangsung spektakuler. Dan malam-malam berikutnya, kami melakukannya lagi. Kali ini semakin liar setiap malam. Lalu aku mulai menyiapkan lilin, manaruh bunga mawar, atau melati, memutar lagu romantis. Kadang-kadang aku bertanya pada diriku, apa yang sedang kulakukan, apa yang telah kulakukan, mengapa aku melakukan ini, dan siapa saja yang pernah melakukan ini. Tak banyak tentunya. Aku manusia biasa.

Saat tanganku akan menyentuhnya, dia menggigit. Saat mata mencoba mengintipnya, dia hilang. Selama ini aku hanya memejamkan mata, dan memegang payudara. Sekarang aku tidak bisa menikmatinya lagi. Aku sekarat. Mungkin mati, karena ular itu menggigit dan mengalirkan racun terkutuknya kedalam nadi. Aku telah menyentuhnya. Aku telah mengetahui bentuknya. Dia ternyata seekor ular.

Seberapa nikmat yang telah aku alami, itu ternyata hanya tipuan ular. Ular itu tidak mengizinkanku melihat yang sebenarnya, meraba yang sebenarnya, karena dia takut ketahuan jati dirinya yang sebenarnya. Ular. Tapi tiba-tiba, di tengah sekaratku, ada sesosok manusia sepertiku. Dia membuatku dapat bernapas lagi. Aku hidup lagi. Dan nikmat yang kurasakan darinya, berlipat-lipat dibanding yang kudapat dari seekor ular. Aku bisa melihat dan merabanya. Dan menciumnya. Dia laki-laki

Sunday, 5 September 2010

Malam Laylatul Qadar Pada Modar

Duka bulan ramadhan bagaikan bulan ramadhan itu sendiri. Selalu terjadi. Saat hari semakin mendekati akhir bulan Ramadhan, salah satu duka tersebut datang. Saat si kaya mengumumkan akan membagikan zakat fitrah kepada si miskin. Mereka lantas datang berbondong-bondong, mengharap mendapat zakat tersebut. Petugas sudah ditempatkan di pintu masuk, agar jalannya pembagian zakat bisa teratur dan semua orang bisa kebagian. Namun mereka tetaplah orang miskin. Mayoritas dari mereka bahkan tidak menempuh pendidikan layak - untuk dapat mengerti istilah antri. Ah, siapalah yang bisa disalahkan atas perilaku ini. Budaya yang dulu sempat merekat, sekarang terinjak-injak oleh kerumunan yang sekedar mencari makan. Apakah harus menempuh pendidikan formal dulu, baru bisa antri?
"Ah, antri hanya membuat saya tidak kebagian beras," mungkin salah satu dari mereka berkata begitu. Tidak bisa disalahkan juga, jatah zakat mungkin tidak sebanyak kedatangan para penerima, yang tanpa diduga-duga berjumlah lebih banyak, dari yang dijatahkan. Entah darimana mereka mengetahui, tapi tidak sedikit yang datang dari luar daerah tersebut.
Lalu siapa yang bertanggung jawab atas banyaknya orang miskin? Pasti kita semua setuju untuk menyalahkan pemerintah, bukan? Yang kita tahu, mayoritas pemerintah adalah kelompok koruptor Indonesia. Uang rakyat mereka makan sendiri. Mungkin ada dari hasil korupsi mereka, untuk mengurangi kemiskinan, sehingga pembagian zakat, bisa lebih teratur, karena mungkin
jumlah orang miskinnya tidak akan terlalu banyak. Apakah korupsi saja penyebabnya? Apakah, tidak bisa lebih rumit lagi? Sistem nilai yang selama ini kita anut mungkin? Bagaimana dengan perkataan ini : "Nak, belajar yang bener, biar bisa nyari duit yang banyak."
Lalu kemana moral, nurani, dan iman, bu? Dan di malam laylatul qadar ini, ibu itu mati terinjak-injak. Anak itu menangis terlepas dari gendongan ayahnya. Dan kakek itu selamat, namun 2 hari kemudian dia mati. Orang kaya itu, merasa sangat berdosa. Dan pemimpin itu, tertawa terbahak-bahak, setelah salam tempel yang cukup lama. Tidak cukup baik ya...
Mungkin laylatul qadar tidak diturunkan Allah ke indonesia. Mungkin lho

Thursday, 2 September 2010

Pemimpin 'cinta damai'


Rabu, 1 September 2010. Pukul sembilan malam WIB, SBY mengeluarkan pernyataan terkait hubungan Indonesia-Malaysia yang akhir-akhir ini memanas. Dari pukul setengah delapan kutunggu penuh harap-harap cemas. Tak pernah satu pidato presiden pun yang aku tanggapi, kecuali yang satu ini. Karena pidato kali ini isinya hanya dua. Perang atau Damai. Kubayangkan jika SBY menyatakan perang terhadap malaysia - yang sudah terlalu memancing emosi rakyat Indonesia, dengan kelakuan-kelakuan provokatifnya - apa yang akan terjadi sesungguhnya. Bagaimana perang itu? Yang selama ini hanya aku baca di buku sejarah, kulihat di film-film, di berita, dan bahkan kumainkan di komputer, kini akan kualami sendiri. Gedung-gedung hancur, orang tua yang kehilangan anaknya, anak yang kehilangan bapaknya. Sesuatu yang tidak bisa kualami. Lalu konflik dalam diri terjadi. Mana nasionalisme mu, anak muda. Mengaku ber api-api jika menyangkut bangsa. Namun ketika bangsa dilecehkan, hati sudah khawatir dan takut berperang untuk membela bangsa.

Akhirnya SBY memulai pidatonya. Aku yakin ini sudah dinanti-nanti seluruh rakyatnya. Berpidato di Mabes TNI di Cilangkap, banyak pengamat mengatakan SBY siap berperang. Menurutku juga begitu, dan aku mulai khawatir. Juga ketika melihat mentri-mentri yang hadir - termasuk mentri pertahanan, sudah cukup tersirat isi pidato yang akan disampaikan SBY. Saat memasuki ruangan mengenakan batik merah menyala, aku langsung lemas. Beliau membicarakan sejarah Indonesia-Malaysia yang satu rumpun, lalu ke hubungan bilateral, masalah TKI, dan terakhir masalah perbatasan yang menjadi pemicu kemarahan rakyat Indonesia. Lalu beliau mengatakan solusinya adalah dengan segera menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Intinya diplomasi (lagi). Entah kenapa saat itu aku merasa lega memang, namun dalam hati juga merasa ini khas pidato SBY sekali. 'Cari aman'. Tak ada emosi didalamnya - bahkan saat beliau mengatakan kalau dia tahu perasaan rakyat Indonesia yang merasa dilecehkan. Dikatakan tenang pun tidak. Lebih terlihat pasrah dibanding berkepala dingin. Seperti kita punya tetangga yang selalu usil dan menganggu rumah tangga kita, namun kita pasrah saja. Baik sih, namun aku rasa tuhan juga tidak membenarkan perilaku seperti itu.

Bagaimanapun juga, itulah keputusan yang diambil sang presiden. Keputusannya juga memiliki beberapa nilai positif. Dia memang pemimpin. Memikirkan kesusahan yang akan diterima rakyatnya jika perang yang diputuskannya. Dan lebih memilih 'diplomasi' agar rakyatnya yang banyak bisa tetap hidup. Menyatakan kepada seluruh dunia, bahwa Indonesia adalah negara cinta damai. Dan tak kalah penting, ini menunjukkan SBY adalah orang yang memiliki ilmu agama yang bagus. Mendengarkan ceramah ustad dengan khusyuk, bahwa pada bulan Ramadhan diharamkan berperang. Saya tetap mendukung bapak, walaupun sepertinya kemarin tidak merasa mencoblos bapak.

Wednesday, 1 September 2010

Cerita Manusia

"Lihatlah kalian

sekumpulan daging yang tak tahu diri

diberikan nyawa ke tubuh kalian
tapi kalian gunakan untuk membunuh

diberikan akal kedalam kepala kecil kalian
namun dengan sombong kalian menyangkal

merasa paling pintar
hanya menggunakan logika kurus kalian

menyangkal tuhan
memainkan agama

kalian hidup dengan logika semata

kalian bahkan tak lebih pintar dengan delar doktor atau pemikir lainnya,

ketika dengan bodohnya logika mengimani

lihatlah dunia dan semesta kawan

apakah sesempit itu sehingga hanya ada logika tercipta di dunia ini
sehingga kalian meragukan tuhan

ya, itulah kalian manusia. Selalu meminta logika bukti.

Namun ketika bukti diberikan, kalian tetap menyangkal
menganggap itu hanya bencana alam;kebetulan. Berkelit sekeras hati"




Suatu hari, ada dua manusia berkelana ke negri jauh. Yang satu berlatar belakang agamais, anak tokoh spiritual desa. Berkelana karena cerdasnya. Dia mendapat beasiswa. Bukan main bangga orang tuanya. Sudah pintar dunia, pintar agama pula. Orang tuanya melepasnya dengan percaya, dan uang tabungan keluarga. Alhasil dia sampai di negri tempatnya menuntut ilmu. Belajarlah dia dengan tekun. Tak lupa ibadahnya selalu terjaga. Negri tempatnya belajar memang cocok untuk membuat seseorang sangat pintar. Berkurikulum internasional. Logika adalah segalanya. Jika tak bisa dijelaskan secara ilmiah, berarti itu hanyalah bualan belaka. Guru disana sangatlah pintar, cukup untuk membuat dia terkagum, dan terhipnotis dengan sosok sang guru. Seorang penggemar akan mengikuti apa saja yang dilakukan sang idola, bukan? Jadi, dia mengikuti cara berpikir gurunya tersebut. Lalu mulailah keimanannya terkikis. Dia mulai mengenal kata "Oh iya ya, benar juga" "wah jadi selama ini" "kalau tuhan tak bisa dijelaskan, berarti tuhan hanya bualan"

Siapa yang dapat menjelaskan bentuk tuhan? lalu agama? sama saja. Hanya lelucon. Kalau begitu biar aku tambahkan lelucon ini. Lalu pergilah dia dari dirinya yang dulu. Kebanggan orang tua. Dia sekarang hidup bahagia dengan logikanya


Lalu manusia yang satu lagi, berlatar belakang anak berandal. Tak terlalu baik latar belakang agamanya. Orang tuanya hanya orang biasa, namun kaya. Berkelana juga karena kecerdasannya. Dia mendapat beasiswa juga. Berhasil membuat bangga orang tua, walaupun menurutnya, dia melakukan ini bukan untuk membahagiakan orang tuanya. Buat apa? Dia melakukan untuk dirinya sendiri. Alhasil berangkat pula dia dengan bangga. Disana dia dengan cepat beradaptasi dengan budaya yang hedon. Suatu ketika bencana gempa datang melanda. Bangunan hancur dimana-mana. Saat dia berada di ruang kelas, seluruh murid lari tak barlogika. Panik. Saat akan menuruni tangga, dia disalip oleh seorang lelaki besar, sehingga dia terjatuh. Saat lelaki besar tersebut beberapa langkah didepannya - berlari tak akan berhenti, tiba-tiba atap diatasnya rubuh dan menimpanya. Tentu saja dia panik bukan kepalang, melihat orang hancur kepalanya didepannya. Saat aman berada di tempat paling tinggi, dia melihat seluruh negri rata dengan tanah. hancur, dan sepertinya tak akan bisa kembali menjadi tempat yang indah seperti dulu. Seakan tak habis kesedihannya, dia harus menjadi tenaga pembantu evakuasi mayat-mayat. Melihat orang-orang tak bernyawa bergeletakan di jalan bukanlah sesuatu yang biasa, bagi seseorang yang hidupnya selalu berkecukupan. Bahkan untuk yang tidak sekalipun. Apalagi bau yang dihasilkan dari mayat-mayat yang sudah mati berhari-hari. Dia menangis saat menarik seorang wanita dengan tubuh lembek, dan busuk, dari reruntuhan klub malam. Saat dia pulang kerumah untuk liburan, seorang teman dekat bertanya tentang keadaanya ketika kejadian bencana tersebut. Seorang teman yang kenal dekat dengannya bilang "yah namanya juga musibah, kita ga bisa tahu" Tapi dia menanggapi "Tidak kawan, itu bukan sekedar musibah. Itu peringatan tuhan kepada kita manusia"


"Lihatlah
Begitulah manusia
Dan tuhanpun sepertinya tidak akan rugi
Jika ada yang berbangga membahasnya dengan jenaka
Lalu yang bertuhan dan yang ateis pun berdebat
Merasa paling benar masing-masing
Manusia dengan otak yang ber saraf-saraf
Seonggok daging berbalut lelucon
HAHAHA!!!"

Fantasi Nyata

Gedung Kesenian Jakarta sejenak menjadi lorong waktuku kembali ke masa fantasi. Kembali ke tahun 1500-an di Paris. Seperti novel 'Phantom Of The Opera' yang pernah kubaca. Masa dimana menonton opera adalah agenda wajib para bangsawan saat itu. Berada di gedung opera di Jakarta. Saat menaiki tangga menuju balkon, darah dalam nadiku terasa mengalir sangat cepat dan panas. Serasa ingin meledak karena terlalu kegirangan. Saat duduk di balkon nomor 15, dan melihat tepat lurus kearah panggung, sungguh pemandangan yang sempurna. Melihat seluruh isi ruangan yang sangat artistik. Arsitektur belanda sangat terasa. Warna dalam gedung yang bernuansa putih-emas dengan pilar-pilar besar menopang balkon. Panggung besar dibawah juga dibatasi pilar. Berhiaskan warna emas di ujung atas pilar. Dihiasi lampu-lampu kecil yang menempel di tembok-tembok, sebagai penghangat. Dan diatas menggantung lampu hias yang tidak terlalu besar untuk ukuran gedung. Namun cahayanya cukup. Kemudian lampu-lampu perlahan-lahan meredup, seiring pentas yang segera dimulai. Drama musikal yang dipersembahkan oleh 'Club Hypnosis Sehati' (CHS). Dibiayai oleh Dr.Dewi Yogo Pratomo, MHt - selaku pendiri CHS, dan disutradarai oleh Yudhi Kurniawan. Bercerita tentang ibu Kiki yang mengalami masalah, dan bertemu dengan sekelompok wanita CHS, dan bercerita tentang masalahnya, saat kehilangan sang anak tercinta. Pemimpin CHS, ibu Dewi Yogo Pratomo, yang juga bermain dalam drama musikal tersebut, mencoba menenangkan ibu Kiki, dan menyebutkan bahwa masalah adalah dimiliki semua orang. Lalu sang sutradara memaparkan beberapa masalah yang umum kita jumpai di kehidupan. Dan pada akhirnya, ibu Kiki berhasil menemukan anaknya ketika bertahun-tahun sudah berlalu. Namun yang berbeda ada pada kelompok pengiring musiknya. Karena sekarang tahun 2010, jadi alat yang dipakai adalah alat musik modern, seperti gitar,bass listrik. Juga ada perkusi, dua penyanyi, dan organ dari sang konduktor. Tiket yang ditawarkan berkisar antara 40-100 ribu rupiah pada pementasan-pementasa rutin di GKJ. Bagi kalian yang bosan dengan tontonan bioskop, beralih ke tontonan teatrikal semacam ini, adalah selingan yang sangat bagus. Karena menonton opera semacam ini lebih bergengsi, dan pasti lebih memuaskan untuk para penikmat teater; Lebih bangsawan jika kita masih di tahun 1500-an. Kekagumanku malam ini tak akan luntur hingga esok. Saat duduk sendiri di balkon nomor 15, aku merasa seperti Raoul atau Erik - yang selalu menduduki balkon nomor 5, dan melihat Christin dae yang sedang bernyanyi dari atas. Benar-benar fantasi yang menjadi nyata.