Monday, 30 August 2010

Mata Tajam Pintar

Dia yang berkuasa atas kata-kata

Di pahat kehidupan olehnya

Naik-turun keimanannya

Dia membalut luka dengan keindahan cerita

Menindih daging kehidupan anak manusia

Karena kuasa




Wanita penguasa

Mencium penuh kuasa

Mencibir penuh getir

Mendesah menghapus resah,

Lelaki yang pasrah

Karena dia kuasa
Dia kuasa
Kuasa
Ku asa
Asa ku
Berkuasa...

Menantang Maut

Jalur nadi membentang panjang

Mengeras mengepal tiang bendera yang menjulang ke udara

Saat tampuk pemimpin menggemakan kebobrokan

Dia meretakkan dinding keenakan para penguasa laknat

Urat lehernya tegang menantang

Lantang berkumandang

Tangannya mengurai fakta

Investigasi yang memakan durasi

Saat dia terus menggali

Tubuhnya mati diracuni

Anak Dari Musuhku

Perjalanan setitik mani

Dimulai setelah tegukan arak terakhir

Tak peduli akan panasnya persaingan dan pembunuhan

Gedung-gedung terbakar

Melantunkan pelan nada gairah

Air mata pengemis lapar sudah kering

Tersapu angin kencang peluru tajam

Saat ruh ditiup dari langit

Meluncur turun kedalam rahim

Genderang perang masih menyibukkan malam

Cabang bayi tak bisa berlari dari peluru

Begitupun sang ibu,

Yang kokoh berdiri

Belum ada harapan

Hanya sebuah nama ketika bayinya lahir

Yang berarti 'harapan'

Perbuatannya lah yang haram

Tapi bayi ini tetap sesuci embun pagi

Tanah Air Alif

Jalan kusut miliki tanah yang subur

Berjalan bocah diatasnya

Alif namanya

Melangkahi hama yang berserakan

Hama tumbuh karena tanah yang subur

Hijau beraroma kepercayaan

Bocah berhenti ditengah kehijauan

Mengambil napas cita-cita banyak-banyak

Bocah ingin menuju puncak gunung

Hanya ingin?

Ingin itu cita-cita

Ingin harus banyak-banyak

Walaupun bekal ibu dirumah hanya nasi dari sawah

Dan lauk dari pasar becek-bau

Singkat cerita,bocah sampai dipuncak

Minta ceritakan saja sendiri

Setelah dipuncak,dia ingin ke bulan

Hanya ingin?!

Alif dulu hanya ingin ke puncak gunung

Monday, 9 August 2010

Uang

Uang yang diselipkan pertanda harga diri yang disembunyikan
Dibawah tanah
Diinjak-injak
Pertanda peringatan diamnya mulut yang sekarat untuk menyemburkan kebenaran
Dikirim ke tempat terjauh
Terdalam
Jangan diungkap
Pertanda kemaluan yang terlecehkan
Budak
Untuk makan
Pertanda kemenangan dan keberhasilan
Anak-anak berlari membeli permen
Motivasi dini
Tarik ulur basa-basi
Pertanda kita
Tandakanlah dengan keringat dan karya
Rezeki Illahi

My angel

aku hidup untukmu
aku minum darimu
bibir lembut meminummu
begitupun dirimu
aku ingin masuk kedalammu
menjadi intisarimu
suaramu untukku
senyum tawamu nyawaku
keringatku dari kulitmu
aroma surga menyinggahimu
sepanjang malam
mataku akan terjaga saat tidurmu
dimanapun kau berada

Sisa Malaikat

Aku berbaring diatas ranjang besar dingin sehabis hujan. Menghitung langit-langit persegi. Mencoba mengusir kebosanan televisi yang terus berbicara seperti sales marketing ditelinga. Dan sinarnya menghasut agar menoleh sebentar - sekedar melihat iklan pasta gigi, atau promo acara. Tapi aku tak tergoda. Melihat langit-langit kamar nenekku. Dulu nenek dan abib - kakekku. Tapi kata itu sudah tak terpakai lagi, seiring pulangnya jiwa meninggalkan tubuh lemah dan kaku yang disembunyikan dibawah tanah merah. Sendiri.

Memoriku tiba-tiba kembali ke saat abibku menghembuskan napasnya untuk terakhir kali. Saat itu aku berumur 14 tahun. Dan sekarang, aku berbaring ditempat ia menemui tuhannya. Aku mencari-cari, adakah sisa-sisa malaikat hadir di langit-langit. Kata orang, malaikat muncul dari atas mata kita, saat akan mencabut nyawa. Aku menerka, apa yang dibawanya. Adakah yang tertinggal untuk dilihat oleh orang-orang yang masih hidup Membayangkan menjadi dirinya - abibku. Melihat ke langit-langit dan menunggu malaikat muncul dari atas kita dan memberikan sesuatu. Mungkin semacam surat dari tuhan, bahwa saat ini, kontrak hidup kita sudah habis, dan tidak bisa diperpanjang. Lalu dia mulai mengambil nyawa yang melekat di kulit-kulit. Bahkan lebih dekat jaraknya daripada kulit dan nadi.

Malaikat mencabutnya perlahan, agar tidak menyakitkannya. Agar abib dapat berpesan kepada yang masih hidup. Tapi dia tidak pernah berbicara. Tumor otak menghambat sensor motoriknya. Dia tidak bisa berbicara, dan setengah lumpuh. Hanya napas yang setengah-setengah mengkomunikasikan bahwa hidupnya sebentar lagi. Baru kali itu aku melihat seorang manusia yang sekarat. Dan rasanya menakutkan, dan menyedihkan. Setelah napas habis, air mata keluar liar. Bercucuran. Tapi abib bisa dibilang beruntung. Keluarganya hadir, disaat terakhirnya. Dia melihat anak-anak dan cucu-cucu untuk terakhir kalinya. Dia meninggal diatas ranjangnya yang nyaman, dengan susu putih hangat yang masih tersisa.

Dan sekarang dingin, sehabis hujan. Dan aku menerawang jauh kebelakang, melihat ke langit-langit, tempat matanya terakhir kali melihat. Malaikat. Mencari sisa peninggalan ciptaan tuhan yang gaib. Dan aku menemukannya. Kenangan. Peringatan kepada yang masih hidup. Kepadaku. Dulu ada manusia yang hidup, dan pasti mati.Belum ada malaikat yang datang sekarang.


Mungkin kau tahu, atau mungkin tidak bib. Tapi aku selalu mendoakanmu setelah sholatku.

Berbahagialah abib disana...

I love you, but it's really hard to show

Langkahku lelah tertatih
Menopang doa mencoba menembus langit
Saat napas baru yang kusadar mengibas bulu tangan
Membangunkanku dalam buaian
Menghirup dan menghembus
Tertarik cepat dalam usaha tanpa henti
Terhembus dalam keluh dan syukur
Berdoa agar kita saling mencintai
Lebih nyata
Dan terjawab malam itu juga
Kau terbangun dari tidurmu
Menghangatkan sesuatu untuk makanku
Sedikit,
Tapi bukan karena itu
Kau bangun dari buaianmu
Saat ku berdoa dalam perjalananku
Agar kau menunjukkan cintamu
Agar ku menunjukkan sayangku
Tapi semua tak pernah mudah
Hanya tuhan yang tau cinta kita
Tidak dengan kita

Sang nabi - Khalil Gibran

Anakmu bukan anakmu

Mereka adalah putra dan putri kehidupan yang mendambakan dirinya sendiri

Mereka datang lewat dirimu namun bukan dari dirimu,

Dan meskipun mereka bersamamu namun mereka bukan milikmu

Kau bisa saja memberi mereka cinta namun bukan pikiranmu

Karena mereka punya pikiran sendiri

Kau mungkin saja menjadi tempat bermukim tubuh mereka namun bukan jiwa mereka,

Karena jiwa mereka berdiam dalam rumah masa depan, yang takkan bisa kau kunjungi, bahkan dalam mimpi-mimpimu

Kau mungkin ingin seperti mereka, namun jangan buat mereka seperti dirimu

Kahidupan tak berjalan mundur maupun terhenti di hari kemarin

Kau adalah busur yang mengirim anak-anakmu sebagai panah yang melesat kedepan

Sang pemanah melihat sasaran di atas jalan setapak keabadian, dan Dia menundukkanmu dengan kuasa-Nya sehingga panah-Nya dapat melaju mulus dan jauh. Biarkan dirimu tunduk dalam tangan sang pemanah dengan syukur; Karena walau Dia mencintai sang panah yang melejit, Dia pun mencintai busur yang kuat.



Khalil Gibran

Tempat kita pertama bertemu

Aku menghirup udara sisamu
berjalan diatas jejakmu
aku berada di ruang hampa dibelakangmu
tanpa pegangan ku terangkat keatas
dan melihat penuhnya dunia
senangnya berada diatas
tanpa pengganggu dan berkuasa terasa
tapi kau di atasku
beberapa hitungan dan aku menceburkan diri
sangat jauh ke dalammu
menunggu mati
terangkat kembali
atau seseorang menyelamatkan