Wednesday 3 February 2010

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki
yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya,
tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.
Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula, pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi
bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel.
Wajahnya tampak sedih. “Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,”
pinta pohon apel itu.

“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi.” jawab anak
lelaki itu. “Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk
membelinya.”

Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang…
tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya.
Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”

Anak lelaki itu sangat senang.
Ia lalu memetik semua buah apel yang ada dipohon dan pergi dengan penuh
suka cita.
Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.
Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
“Ayo bermain-main denganku lagi.” kata pohon apel.

“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku.
Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal.
Maukah kau menolongku?”

“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah.
Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu.” kata pohon apel.

Kemudian, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu
dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak
lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel
itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa
sangat bersuka cita menyambutnya.
“Ayo bermain-main lagi deganku.” kata pohon apel.

“Aku sedih,” kata anak lelaki itu. “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang.
Aku ingin pergi berlibur dan berlayar.
Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”

“Duh, maaf aku tak punya kapal,
tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau.
Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu,
dan membuat kapal yang diidamkannya.
Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
“Maaf, anakku,” kata pohon apel itu.
“Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”

“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu.”
jawab anak lelaki itu.

“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat."
kata pohon apel.

“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu.” jawab anak lelaki itu.

“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini.”
kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang.” kata anak lelaki.
“Aku hanya mmebutuhkan tempat untuk beristirahat.
Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”

“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik
untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan
akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat
gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika
kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita
memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita
akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk
membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah
bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita
memperlakukan orang tua kita.


Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya;
dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada
kita.

No comments:

Post a Comment