Friday 26 February 2010

Surga ku

Pada detik itu juga, saat cahaya surga mengguyur tubuh dan sajadahku, imajinasiku menjadi liar tak terbendung. Pikiranku terbang setinggi-tingginya, sejauh-jauhnya, meninggalkan bumi, meninggalkan dunia. Dia berhenti pada sebuah dunia yang abadi, yang tidak bisa ditemukan disini. Bahkan jika Colombus masih hidup pada jaman ini dan diberikan alat transportasi secanggih-canggihnya, dia tidak akan bisa menemukan dunia fantasi itu disini. Hanya imajinasi yang akan menuntunku. Tubuhku seperti dimiliki dua orang. Beruntung sekali dia yang terpilih untuk dapat berkunjung ke surga itu, sedangkan aku disini. Hanya menyaksikan gambaran yang diberikannya, seperti menonton televisi. Malas, dan berharap berada di situasi yang ada pada layar kaca.

Cahaya itu berwarna keemasan. Tidak kuning, tidak oranye, dan tidak juga merah. Tidak pernah kulihat cahaya seindah itu. Membuatku menengadah keatas dengan paksa, sehingga hampir membuat leherku patah, penasaran dari mana asal cahaya itu. Mungkin fisikku tak se-penasaran hatiku, dia menolak. Membuatku tertunduk dengan sendirinya, karena urat syaraf yang lemas. Melalui sajadahku dibawah kakiku yang sedang bersilang, aku melihat dunia yang indah. Aku menyebutnya fantasi beberapa waktu. Namun, karena fantasi berarti tidak nyata, aku merubah nama dunia itu, "Surga."

Dan gambaran surga merangsak masuk ke pikiranku, begitu cepat, secepat kuda-kuda milik kerajaan mongolia; begitu banyak, sebanyak barisan lebah yang masuk kedalam sarangnya untuk menghasilkan madu yang lezat; dan memaksa, seperti seorang ibu yang memaksa anak balitanya untuk makan. Tak dapat kutolak, karena surga itu sangat indah, aku langsung dijamu oleh hangatnya cahaya disana, dengan matahari yang muncul hanya setengah karena malu dengan kicauan burung yang saling bersahutan, entah darimana asalnya. Mereka begitu khusyuk bernyanyi, mungkin dibalik hijau dan lebatnya pohon. Aku tidak tahu jenis pohon apa itu. Pohon itu membagi hijaunya kepada rerumputan disekitarnya dengan dermawan, seakan tidak takut akan kehilangan hijaunya sendiri. Hamparan rumput hijau itu tidak putus sejauh apapun aku memandang, bahkan sampai ke ujung horizon yang dijaga oleh gunung-gunung. Aku ingin menjelajahi surga itu, dimulai dengan aula kecil berbentuk lingkaran yang terbuka didepanku, yang hanya beralaskan batu-batu halus, tanpa debu setitikpun, dan terdapat semacam meja yang terdiri dari batu juga, yang juga berbentuk lingkaran. Diatasnya ada empat cawan yang menatapku dengan tajam, namun menggoda. Cawan itu berisi susu yang sangat murni, seakan-akan mempunyai mata air sendiri, tidak diperas dari hewan apapun. Semakin aku mendekati aula itu, semakin jelas terdengar alunan musik yang sangat menentramkan, namun dapat membuatku menangis saat itu juga, karena keindahan nada-nada yang dimainkan oleh bidadari disana. Kombinasi antara piano, biola, dan harpa, dan nyanyian sang bidadari. Aku tak bisa melihatnya, tapi keindahan suaranya dapat menggambarkan kecantikan dan kesuciannya. Seakan-akan bidadari itu tak pernah melihat kekejaman, dan selalu menjaga kehormatannya. Pada aula itu, terdapat empat jalan setapak yang menuju ke suatu tempat. Jalan-jalan itu disambut oleh kokohnya tiang yang berdiri di samping kanan dan kiri, sehingga bayangan tiang itu membentuk seperti rel kereta pada jalan setapak. Aku memilih salah satu jalan. Dan ditengah perjalananku dijalan setapak itu, terdapat bidadari-bidadari melempar senyum malu. Mereka tertunduk dan berjalan lebih cepat ketika tersenyum, membuat mataku tidak bisa untuk tidak menoleh mengikutinya sampai dia menjauh.

Bidadari disana mengenakan gaun putih tipis yang indah, menutupi kaki-kakinya. Anting-anting mereka kuning berkilauan. Walaupun gaun yang mereka pakai sangat tipis, namun tak terlihat payudara ataupun perut mereka, karena silaunya sinar yang terpancar dari tubuh mereka, hanya siluet lekuk tubuh yang sempurna dan jemari putih yang sehalus sutera. Wajah mereka seputih awan yang cerah, bersinar seakan-akan matahari berada didalam mata mereka, tidak ada goresan sekecil apapun pada wajah para bidadari disana. Rambutnya yang halus dan terurai seperti sayap burung nazar, jatuh bebas ke punggung. Ada yang berambut hitam, ada juga yang berambut pirang. Dan saat mereka melewatiku, aroma 1000 bunga mawar tidak bisa menandingi keharuman tubuh mereka. Wajah mereka selalu riang, saling bertegur sapa dengan bidadari lainnya, tertawa, dan melihatku, sehingga kalah mataku untuk beradu pandang dengan mereka, karena yang paling indah dari semua adalah mata mereka. Mata yang terpancar sinar dari dalamnya. Mata yang lebar dan jeli. Seakan-akan kita bisa pingsan jika melihat mata itu terlalu lama. Pingsan karena hasrat yang terlalu besar, yang tidak bisa disimpan dalam tubuh.

Dan itu yang terjadi padaku, tiba-tiba aku seperti terbangun dari mimpi. Ah sial, karena melihat mata bidadari terlalu lama, aku jadi terlempar kembali ke bumi. Sekarang yang harus kulakukan adalah berusaha kembali ke surga itu. Kembali melihat sinar indah itu, dan sinar mata itu.

No comments:

Post a Comment