Sunday, 19 August 2012

Silent Takbir

Rasanya aneh ketika malam takbiran hanya bisa dinikmati melalui jaringan internet. Di televisi disini pun tidak ada satu pun acara yang mengbarkan suasana takbiran di seluruh daerah. Tidak ada suara takbir memenuhi langit malam. Disini hanya ada kabut dan angin yang dingin. Tidak ada yang mudik. Hanya ada lalu lintas rutin menuju tempat wisata, atau kantor. Tidak ada uang THR untuk membeli baju lebaran dari Ayah. Hanya sweater lama yang menghangatkan badan. Tidak ada ketupat, opor ayam, semur daging, dan sayur paya makanan khas lebaran buatan mama. Hanya makanan kaleng dan makanan cepat saji lainnya karena jauh dari keluarga. Tak ada tangan-tangan yang kukenal untuk disalami. Disini semuanya terasa asing.

Tapi setiap tahun, kita harus lebih baik. Aku tidak khawatir karena Insya Allah aku melalui hari-hari yang lebih berat setiap tahunnya. Terus memaksa pikiran, tubuh, dan jiwa menjadi lebih baik. Karena ini adalah ciptaan yang paling sempurna dari yang maha kuasa. Mungkin sudah sejak dulu aku ingin mencoba jauh dari keluarga, bukan karena benci, tapi karena ingin mandiri. Aku pernah punya cita-cita untuk merasakan berlebaran sendiri tanpa keluarga. Aku ingin sekali menjadi reporter televisi dan melaporkan suasana lebaran di daerah yang jauh. Namun Tuhan memberikan dengan cara lain untukku dalam menikmati lebaran jauh dari keluarga. Aku ada disini mengejar ilmu dan cita-cita, jauh dari rumah dan kawan. Jauh dari cinta.

Alhamdulillah sudah 3 tahun ini aku menulis di saat malam takbir bergema. Suasana yang begitu spiritual membuatku ingin mengabadikannya dengan tulisan. Di tahun pertama Samudera bertarung dengan hatinya apakah harus memaafkan keluarganya, namun cinta sesungguhnya dari sang kekasih membuatnya luluh dengan kesedihan yang bahagia. Membuatnya tersenyum. Senyum Samudera. Lalu di tahun kedua aku mencoba berintrospeksi. Pengalaman pertama berpuasa berbarengan dengan pekerjaan. Semua bisa terlewati di minggu pertama, namun minggu kedua dan seterusnya, aku sangat jarang sholat tarawih dan mengaji, dan aku merasakan tahun itu lebih buruk dari tahun sebelumya. Apakah Ramadhanku sudah baik?

Dan tahun ini, walaupun aku tidak pernah sholat tarawih, entah kenapa aku merasa lebih baik dari tahun sebelumnya. Saat menjadi minoritas, cobaan terasa sangat sangat berat, tapi Alhamdulillah sebulan ini aku tidak pernah bolong dalam berpuasa. Aku harus melaksanakan puasa saat aku berada disini kurang dari satu bulan. Saat masih harus melakukan banyak penyesuaian.Namun inilah salah satu cita-citaku. Menjadi minoritas untuk lebih bersyukur. Waktu berpuasa yang jauh lebih lama pun bisa kulewati dengan sangat mengaggumkan. Air mata jatuh bersamaan dengan rasa syukur di setiap kesempatan. Lalu aku merasa, Aku hebat. Aku pantas memberikan penghargaan untuk diriku. 

No comments:

Post a Comment