Pagi-pagi buta bapak sudah berpakaian rapih dan menyantap
sarapan secangkir kopi. Tak lelah setiap hari mengendarai sepeda tuanya menuju
kantor pos, untuk kemudian bersepeda lagi sepanjang hari demi mengantarkan
surat-surat atau kiriman paket ke rumah-rumah istri-istri yang suami-suaminya
berjuang di medan perang, atau yang anak-anaknya dalam perantauan.
Sementara Lestari
terlalu lelah melacurkan diri pada kemunafikan. Berpakaian seperti orang lain, bertingkah seperti orang lain, bahkan berbicara seperti orang lain. Setiap malam tidaklah mungkin dihabiskan tanpa menatap kosong ke jendela kamar yang tak jarang ditemani linangan air mata. Mengingat-ingat kalau bukan karena sang bunda yang selalu sakit hampir setiap bulan.
Hei, Tuhan itu Maha adil. Tengoklah sebentar ke seberang pabrik besi di tengah padang gersang. Abdullah berhasil meningkatkan derajat hidupnya, keluarganya, dan orang-orang di lingkungan sekitar yang dulu tidak punya pekerjaan kecuali mengais sisa perabotan. Dari merangkak tertatih-tatih sebagai pengurus Musholla kecil yang hidup dari kiriman makanan dan uang warga sekitar, namun kebesaran hati yang mulia seorang yatim piatu sejak kecil, dan dari tidak pernah absennya dia berjuang di jalan Allah, membawanya sedikit demi sedikit semakin dekat ke pintu rezeki yang sangat besar yang berukirkan namanya dengan indah. Ketika dia membuka pintu itu, cahaya masuk menyilaukan mata. Dan ketika dia membuka matanya, ruangan bersih dan tertata rapih beserta AC sejuk sekarang adalah tempat kerjanya.
Namun semua itu tidak akan bisa dicapai tanpa kejujuran. Karena kata Abdullah, "jujurlah seperti cermin"
No comments:
Post a Comment