Tuesday 7 September 2010

Dari 'kemelataan' menujulah ke kebahagiaan

Entah dari kapan ular itu mulai hidup di tempat ku tidur. Pada suatu malam kurasakan gerakan di belakang, saat aku tidur miring. Setelah ku tengok, tak ada apa-apa. Terulang lah beberapa kali, sebelum aku benar-benar pulas karena kelelahan. Dan bayanganku pun meredup dibawah purnama kulihat. Lama kelamaan aku terbiasa dengan perjalanannya di belakangku, saat ku tidur miring.

Dari rasa melata yang terasa di belakang, kini terdengar desis, dan terasa lidah yang menjulur-julur di kulit. Aku sudah terbiasa, jadi ular itu merasa bebas. Lalu aku membuka bajuku. Dia melata di lengan atas, turun ke dada, lalu ke perutku. Saat ku tidur miring. Aku menikmatinya, setelah lama haus rabaan dari sang suami yang telah mati. Lalu kutanggalkan celana tidur pendek sutraku. Dia menjalar turun ke sana. Napasku mulai berat. Desahan kecil mulai kuhembuskan sekali. Dua kali. Lalu berkali-kali. Aku sudah basah dan berkeringat. Aku sudah terlentang di tempatku tidur. Lalu ular itu pergi dan membuatku terlelap.

Kejadian itu berlangsung spektakuler. Dan malam-malam berikutnya, kami melakukannya lagi. Kali ini semakin liar setiap malam. Lalu aku mulai menyiapkan lilin, manaruh bunga mawar, atau melati, memutar lagu romantis. Kadang-kadang aku bertanya pada diriku, apa yang sedang kulakukan, apa yang telah kulakukan, mengapa aku melakukan ini, dan siapa saja yang pernah melakukan ini. Tak banyak tentunya. Aku manusia biasa.

Saat tanganku akan menyentuhnya, dia menggigit. Saat mata mencoba mengintipnya, dia hilang. Selama ini aku hanya memejamkan mata, dan memegang payudara. Sekarang aku tidak bisa menikmatinya lagi. Aku sekarat. Mungkin mati, karena ular itu menggigit dan mengalirkan racun terkutuknya kedalam nadi. Aku telah menyentuhnya. Aku telah mengetahui bentuknya. Dia ternyata seekor ular.

Seberapa nikmat yang telah aku alami, itu ternyata hanya tipuan ular. Ular itu tidak mengizinkanku melihat yang sebenarnya, meraba yang sebenarnya, karena dia takut ketahuan jati dirinya yang sebenarnya. Ular. Tapi tiba-tiba, di tengah sekaratku, ada sesosok manusia sepertiku. Dia membuatku dapat bernapas lagi. Aku hidup lagi. Dan nikmat yang kurasakan darinya, berlipat-lipat dibanding yang kudapat dari seekor ular. Aku bisa melihat dan merabanya. Dan menciumnya. Dia laki-laki

No comments:

Post a Comment