Kau bersalah atas bir dan vodka yang menghuni dan meracuni perutku ini.
Bahkan aku tidak peduli dengan abu rokok yang kuminum.
Bukan karena kau membuatku kembali ke awal lagi.
Tapi karena telah mengangkatku tinggi-tinggi, lalu menendangku jatuh dengan keras, dan tidak mati.
Bibirku kebas, mataku merah, dan kepalaku berputar menuju gravitasi.
Perutku tak sanggup lagi, tapi hatiku merasa belum cukup hanya dengan ini.
Mengapa aku terlalu mencintai gumpalan daging dan kelenjar payudara yang selalu membuatku menyingkirkan logika dan waktu bercinta.
Pelajaran untukku – jangan pernah berbicara tentang yang akan datang - denganmu.
Waktu yang terlewati pun kadang bukan sesuatu yang terbaik.
Saat seperti ini, aku sangat merindukan anggur merah dan beberapa teman.
Tapi aku lebih merindukanmu, walau hanya duduk bercanda.
Bukan di restoran mewah, atau di tempat-tempat yang indah.
Dimana saja asal denganmu, kekasih hati.
Tempatku dapat mengobati segala penyakit.
Mabuk cintamu melebihi candu apapun.
Bahkan keringatku merindukamu.
Dia keluar begitu deras, dan bertanya padaku, kemana dirimu?
Apa lagi yang harus kujawab? Selain saat aku selalu memberikannya harapan palsu.
Tanganku tak bisa menggenggam selain goresan sidik jarimu yang unik. Juga jarimu.
Apakah aku pernah menggenggammu?
Untung bibirku tak sebawel tanganku. Juga kelaminku.
Mabukku perlahan sirna, seiring asap yang melawan kehendak tuhan, dan ilmu fisika yang kupelajari, namun tak pernah kupahami.
Tapi kenapa cintaku tak sirna juga?
Tubuh lain yang indah tak bisa mengalahkan tawamu yang selalu kau tutupi.
Aku mencari, namun tak ada yang ditemukan.
Teman yang menyadari tak bisa kupahami.
Syukur selalu kupanjati, walaupun derita yang selalu kualami.
Tuhanku, bukan tuhanmu. Benarkah??
Ayolah, jangan terlalu diambil hati. Nikmati saja cinta ini.
Senikmat aku saat mendengar kau merindukanku juga.
Senikmat alunan orchestra ini.
Andai rokok ini memabukanku juga.
Akan kusimpan dalam lemari. Sampai saat yang tepat menghampiri.
Kau tahu, aku berjalan sepanjang hari.
Aku ingin kau menungguku, sekali.
Tapi sepertinya kau tidak suka menunggu.
Kau menemukan belahan hati yang lain. Maybe.
Jangan membuatku membencimu, karena aku tak akan bisa.
Kau hanya melakukan sesuatu dengan sia-sia.
Kau yang harus membenciku.
Karena aku hanyalah seorang yang tolol.
Bicarakan saja dengan sahabatmu, maka dia akan memakiku pasti.
Aku akan kehilangan inspirasi. Itu pasti.
Mungkin nanti, aku akan kehilanganmu juga.
Sebelum itu terjadi, biarkan aku memelukmu, belahan hati.
Tidak, kau memiliki seluruhnya, bukan sebelah. Hatiku.
Kutanya lagi kemana logika?
Belum ada jawaban.
Katakana saja apa yang ada dihatimu.
Cinta atau benci.
Jangan selain itu.
Jangan ada ‘tapi’.
Empat huruf itu cukup untuk membuatku menyesal seumur hidupku.
Semua ini terangkum dalam satu kalimat.
“Aku sayang kamu.”
No comments:
Post a Comment