Sudirman, bekerja sebagai pemulung dengan gerobak cokelatnya - bila apa yang dia lakukan bisa dibilang sebagai pekerjaan. Ya, dia mendapatkan uang dari situ, walau tidaklah besar. Mungkin dua hari sekali dia bisa makan sedikit enak dengan dua macam lauk, bersama istrinya, Hikmawati. Hikmawati selalu berjalan dibelakang gerobak yang ditarik oleh Sudirman, takut-takut mereka melewati sebuah gelas plastik bekas air mineral, atau sekedar kawat sisa pembangunan. Mereka berangkat saat matahari mulai terbenam. Berkeliling Jakarta dengan perut setengah terisi, dan harapan yang tidak lagi sebesar cita-cita mereka saat mereka kecil. Dengan harapan sekecil itu, Sudirman tetap menarik gerobaknya, melewati jalan raya yang sempit dan genangan air hujan sisa semalam. Suatu hari, Sudirman menemukan sebuah Blackberry di pintu sebuah ruko. Tanpa pikir panjang, Sudirman langsung mengambilnya, dan memberitahukan kepada Hikmawati. Sudirman berencana menjualnya di Jatinegara. Tapi Hikmawati melarangnya. Menurutnya itu dosa, menjual barang yang bukan milik mereka. Namun, Sudirman hanya ingin membahagiakan istrinya yang selalu setia menemaninya. Ia berencana mengajaknya ke pasar baru, membeli sepatu untuk mereka agar tidak lagi menggunakan sandal jepit yang sebentar lagi akan putus. Sudirman berhasil membujuk sang istri agar sependapat dengannya. Menurut Sudirman, Blackberry inilah rejeki yang diberikan tuhan untuk mereka.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Wahidin, rekan sesama pemulung. Wahidin tidak menggunakan gerobak, dan dia tidak ditemani istrinya. Wahidin hanya menggunakan karung besar yang dipanggulnya. Wahidin adalah seorang pemalas. Ia lebih sering duduk-duduk di pinggir jalan,atau dibawah kolong jembatan. Dia selalu merokok kretek sambil terbatuk-batuk. Kadang ia mau muntah jika menghisap terlalu dalam. Tapi dia tidak akan berhenti merokok. Wahidin selalu berjalan dibelakan Sudirman. Ia selalu ketinggalan. Hasilnya, dia jarang mendapatkan sisa gelas plastik, atau kawat sisa pembangunan. Wahidin tidak pernah menyukai Sudirman, dan istrinya. Wahidin ingin memperkosa istri Sudirman, dan merampok hasil pekerjaan Sudirman. Wahidin selalu pusing ingin menjatuhkan Sudirman, dan setelah tahu Sudirman menemukan Blackberry, dan akan menjualnya untuk membeli sepatu, Wahidin mendapatkan ide untuk mencuri Blackberry tersebut. Tentunya Wahidin akan menjualnya juga, dan uang tersebut akan dibelikan sepatu mahal untuk membuat Sudirman kesal. Setelah mereka berpapasan dan bertukar sapa palsu, Wahidin bersembunyi untuk diam-diam mengikuti mereka dan mengambil Blackberry tersebut saat Sudirman lengah. Saat Sudirman dan Hikmawati beristirahat sejenak untuk makan, Wahidin dengan cepat menyabar Blckberry dari tangan Hikmawati, dan meremas payudaranya, lalu kabur. Hikmawati pun sangat kaget, dan tidak sempat melindungi dirinya. Setelah Sudirman kembali dari warung dengan sebungkus nasi, Hikmawati menceritakan kejadian tersebut. Takut sang suami marah besar, Hikmawati bersiap-siap melindungi wajahnya dari tamparan Sudirman. Namun Sudirman tidak melakukannya. Ia hanya sedikit menyumpah kepada Wahidin. Sudirman berkata bahwa Hikmawati memang benar, Blackberry itu bukan rejeki mereka. Dan mereka pun kembali berjalan, setelah makan.
Keesokan paginya, Sudirman membawakan istrinya sepatu bekas yang masih bagus, untuk digunakannya sebagai alas kaki baru, menggantikan sandal jepitnya yang akan putus. Sudirman berkata kepada istrinya sambil tersenyum “Tuhan mengembalikan rejeki kita yang dirampas semalam.”
Wahidin ditemukan tewas dengan cekikan kawat sisa bangunan di lehernya, dan beberapa luka pukulan.
No comments:
Post a Comment