Thursday, 7 April 2011

Kakek Penjual Peniti

Lagi, kulihat kehidupan sebenarnya dijalan. Perjuangan yang keras sekedar untuk melawan tuntutan hidup sehari-hari. Apa yang aku lakukan tidak ada apa-apanya dibanding mereka.

Kakek penjual peniti duduk di pinggir jalan di tumpukan bahan bangunan. Usianya mungkin sekitar 70 tahun keatas. Di belakangnya sedang dibangun proyek gedung perkantoran baru. Simbol pesatnya pembangunan di negara ini, dan satu lagi adalah simbol korban rakyat yang tertinggal dari perlombaan mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ironi Jakarta mencekik dengan panasnya siang. Kakek penjual peniti masih berada dibawah teriknya matahari.

Mari kita panggil dia bapak Masini, agar lebih akrab.
"Peniti... Peniti..." Dengan suaranya yang pelan, namun cepat, ia menawarkan peniti kepada pekerja-pekerja kantoran di daerah Kuningan yang berlalu lalang mencari makan siang. Ada yang memutuskan makan siang di restoran seberang, ada yang memutuskan makan siang di restoran cepat saji, karena sebentar lagi mungkin ada meeting dengan klien. Atau ada yang bosan karena selalu makan ayam bakar setiap hari. Tapi bapak Masini tidak tahu itu. Mungkin perutnya terlalu lapar untuk dapat berpikir itu. Mungkin ia terlalu kepanasan. Ia hanya menawarkan peniti. Pekerja mana yang butuh peniti? Alhasil, bapak Masini hanya dilewati - seperti sebuah lampu jalan, atau rambu lalu lintas. Namun beberapa masih menyempatkan waktu mereka untuk memberikan senyuman dan lambaian tangan, tanda mereka tidak terlalu membutuhkan peniti.

Dua orang pekerja lewat sehabis makan siang, melewati bapak Masini seperti biasa. Setelah satu orang kembali ke kantornya, yang satu lagi tinggal sebentar. Berjalan kembali. Bapak Masini masih menawarkan peniti tanpa henti.
"Berapa sebungkus peniti pak?"Tanyanya.
"Seribu." Katanya.
"Beli dua, pak." Pekerja itu memberikan dua ribu recehan. Bapak Masini mungkin senang, tapi raut mukanya tak bisa dibaca. Hanya terdengar ucapan syukur "Alhamdulillah, alhamdulillah."

Mungkin bapak Masini juga sudah lapar, dia makan beberapa suap. Kemudian membereskan dagangannya kedalam tas, lalu beranjak. Tidak tahu sudah berapa banyak peniti yang terjual. Hanya dua bungkus, atau beberapa. Kemana bapak Masini pergi? Mungkin mencari tempat berteduh. Atau pulang, karena dia berjanji dengan cucunya untuk membelikan sandal jepit baru. Atau ia berjanji dengan istrinya, jika belum dapat uang sepuluh ribu, ia tidak akan pulang.

Bapak Masini berjalan pelan, dengan kemeja seadanya, celana bahan lusuh, dan sandal jepit, bapak Masini terlihat beda dinatara pekerja-pekerja berbadan tegap, dengan kemeja rapih, dan celana bahan bersih.

No comments:

Post a Comment