Jakarta membatu pagi itu. Dia memang tak pernah pergi kemana-mana. Cuma manusianya yang bergerak. Ada yang bingung, percaya diri, nekat, dan kebas karena rutinitas. Pagi ini pun aku kebagian shift pagi untuk memulai hariku. Aku harus berada di bandara Soekarno-Hatta pukul sepuluh pagi. Sedikit waktu untuk bersiap-siap, namun aku berusaha mengerti bahwa manusia memang budak harta. Dan sepertinya aku termasuk didalamnya. Sekuat apapun penolakan yang kupikirkan. Jadi aku harus ke bandara. Karena disana aku akan mendatangi permintaan interview kerja dari salah satu maskapai penerbangan. Pilot jelas bukan posisi yang mereka butuhkan dariku. SIM motor saja tak punya, apalagi lisensi terbang. Posisinya Data Entry.
Bagaimanapun, aku berangkat dari rumah menuju terminal Kampung Rambutan, dan melanjutkan dengan bis tujuan Bandara, menurut info dari temanku, Silver. Dan disana, aku seperti bertanya kepada setiap orang dalam radius 10 meter.'Mas, kalau mau ke bandara, naik apa ya?' 'Mba, kalau mau ke bandara naik apa ya?' Padahal semua jawaban sama, 'Damri mas'. Sepertinya terminal itu bagaikan jalan menuju lembah keabadian, ada dua jalan menuju kesana. Jalan yang baik, dan jalan yang buruk. Dan sepertinya pada saat itu, aku mengambil jalan yang salah, sehingga harus berhadapan dengan seseorang. Dari kejauhan dia terlihat seperti petugas terminal pada umumnya. Berseragam. Dan gendut. Namun ternyata dia adalah monster yang harus kuhadapi sebelum menuju lembah keabadian.
Kita mulai bertatapan pada jarak 5 meter. Aku yakin dia tempatku bertanya terakhir. Dan sepertinya dia yakin aku adalah mangsa pertamanya pagi itu. Aku lalu bertanya. Dan bukan jawaban yang kudapat, malah pertanyaan lain yang ku ajukan - Ada apa ini? Aku kira dia petugas dan aku kan bertanya 'Bis ke bandara apa pak?' Dan jawabannya 'Masuk terminal, lima ratus.' WTF. 'Apaan lima ratus?!' Aku ke kanan, dia ke kanan. Aku ke kiri, dia ke kiri. Karena setelah dia berkata 'Masuk terminal, lima ratus,' lalu aku menjawab 'Apan lima ratus-lima ratus, gua mao ke bandara!' Dan permainan itu pun dimulai. Aku ke kiri, dia ke kiri. Aku ke kanan, dia ke kanan. Selagi kami 'bermain,' dia harus mengeluarkan kata-kata seperti 'lima ratus dulu masuk terminal, maen bandara-bandara aja!' Sambil terus menjagaku agar tidak masuk kedalam, karena dia akan kalah. Dan aku tidak boleh menggunakan jalan memutar untuk bisa masuk, karena akan kalah juga. Dan aku memutuskan untuk bermain sebentar. Namun matahari saat itu berperan sebagai ibuku. Yang selalu meyuruh anak-anaknya pulang dari bermain karena hari sudah maghrib. Namun ibuku yang satu ini menyuruhku segera berhenti bermain, dan segera menuju bis - dengan kilatan cahayanya. Lalu aku menuruti ibuku yang satu ini. Aku segera berhenti. Karena saat itu aku pikir menuju bandara lebih penting ketimbang lima ratus rupiah. Dengan terpaksa aku memberikan uang itu. Walaupun harga diri merasa kalah. Aku bisa saja membuat keributan disana. Mungkin dengan dorongan juga, keributan bisa tersulut. Begitu mudahnya. Namun logika saat itu memberi solusi terbaik. Lalu saat bis ku berangkat, dan melewati tempat tadi. Tebak, orang itu sudah pindah lokasi, karena ada petugas lain, yang menurutku lebih kredibel. Saat itulah aku tertawa. Beginilah banyak cara manusia menjadi budak harta. Mungkin keluarganya dirumah butuh makan.
Bagaimana solusi anda Pak?
No comments:
Post a Comment